Senin, 18 Agustus 2014

Keluh Kesah


Ini adalah pengalaman pertama saya mengirimkan sebuah cerpen ke koran Riau Pos. Kalau saya tidak salah ingat, awal saya mengirimkannya adalah bulan Maret. Bulan demi bulan saya menanti apakah cerpen saya--yang saya anggap nyaris sastra ini--layak muat. Hingga saya putus asa dan meyakini kalau tulisan saya masih jelek dibandingkan dengan mereka yang telah melalang buana membawa cerpen karya mereka ke setiap koran baik daerah maupun nasional. Sampai suatu ketika secara tak sengaja, saya membaca salah satu postingan Grup Sastra Minggu di facebook, dan cerpen saya dimuat pada koran Riau Pos, edisi 15 Juni 2014. Dan sebagai bentuk keinginan saya, di mana saya akan puas jika karya saya dibaca oleh khalayak ramai, saya pun membuat blog ini dan--nantinya--akan memuat karya-karya saya dalam bidang kepenulisan.

Berikut cerpen saya:
Keluh Kesah


kepada daun: maafkan aku untuk sebulan terakhir,
aku tak bisa menemuimu,
mengurungmu dalam jeruji kerinduan,
memberimu harapan pada penantian
yang tak tahu akan berhenti kapan.
—Matahari
            Sungguh, aku sangat merindukanmu. Dari atas langit, sudah buta mataku menatap parasmu dan telah tuli pula telingaku mendengar suara darimu.
            Ketika aku selesai menyinari bumi pada belahan yang lain, tibalah aku memancarkan cahayaku ke tempatmu. Kau bilang ketika kita pertama kali bertemu bahwa akar ibumu tertancap pada tanah yang disebut dengan Riau. Sebetulnya, aku tak suka dengan Riau. Kau tahu kenapa? Atmosfer di tempatmu sangat tipis, terlalu banyak polusi yang merusak lapisan ozon, membuatmu gerah hampir mati. Kau juga pernah bilang kalau manusia yang tinggal di Riau selalu mengeluh betapa panasnya tempat tinggal mereka, namun di sisi lain, mereka tidak mau menanggulanginya dengan menanam pohon (para sanak saudaramu), melainkan dengan pendingin ruangan yang justru membuat lapisan ozon semakin sakit.
Aku berusaha untuk mengurangi kadar panas yang teradiasi kepadamu, namun aku tak berdaya untuk melakukannya. Tak bisa daun. Aku harus adil. Seperti ini aku menyinari di bagian belahan bumi yang lain, begitu pulalah yang kulakukan untukmu. Maafkan aku telah menyakitimu. Sungguh, aku tak bermaksud begitu.
            Kisah yang selalu kau ceritakan padaku hampir di setiap harinya, terkadang terdengar sendu. Kau berkata—entah kapan itu terjadi dan selalu terjadi—tubuh ayahmu akan ditancap oleh benda tajam yang menyakitkan demi menempel gambar-gambar pemimpin manusia. Kau sering menyebut manusia yang ada pada gambar itu adalah penghuni neraka. Mereka berwajah dua, itu yang selalu kau katakan, berkata manis, mengumbar janji, namun semua itu hanya topeng untuk menutupi kebusukan mereka. Bilang saja padaku siapa namanya, daun, akan kubakar nanti di panasnya neraka.
Sempat aku meneteskan air mata tatkala kau menirukan bagaimana ayahmu memekik ketika paku-paku itu menancap, semakin dalam, memancang hingga melesak ke floem dan xilem. Kau beserta ibu dan saudara-saudarimu menangis mendengar lolongan pilu yang menyayat. Kemudian aku menangis isak. Itulah airmataku yang kau sebut dengan hujan.
Seandainya kau mendengar perkataanku, daun. Kumohon, berbicaralah kembali padaku.
***
kepada kabut: sampaikan salamku untuknya,
napasku sudah sesak dan aku sebentar lagi akan mati
ketika keadaan kembali seperti semula
kutak mau ia linglung saat menyadari aku sudah tak lagi ada
—Daun
            Apa pun kamu, aku mohon, percepat aku mati.
            Kudengar, kamu bisa menyampaikan salam orang mati. Benarkah? Lalu bagaimana denganku? Apakah kamu bisa mengantarkan pesan dari daun yang mulai sekarat? Sedang berada di ambang maut? Bisakah?
            Sejak kamu datang, aku tak bisa menyalahkan dirimu. Aku tahu kamu menginginkan untuk tak pernah ada di dunia. Kehadiran dirimu selalu membuat susah. Kamu sering dicaci maki bagai anjing kurap. Selalu menangis setiap aku bertemu dengan dirimu. Aku coba menghibur kamu agar dirimu tak sedih. Lalu kamu ingin pergi begitu saja dari diriku. Padahal, aku tahu kalau kamu lagi butuh teman. Dan aku dengar, hanya diriku yang mau berteman dengan dirimu.
            Daun yang ada di sana berteriak pada diriku kalau kamu pergi karena telah melukai keluargaku atau para handai taulanku. Sekali lagi, aku tak bisa menyalahkan dirimu. Ayahku sudah tua, batangnya penuh lubang menganga. Ibuku telah rentan, akarnya sudah tak sanggup menahan saudara-saudariku yang semakin hari bertambah lebat saja.
Lalu daun yang di seberang sana melolong kalau dirimu telah membunuhku, perlahan, tanpa kusadari. Sebenarnya aku sangat sadar kalau kehadiranmu akan membuat diriku gugur, terjatuh, terhempas hingga menyatu dengan tanah. Dimulai dari keluargaku yang sulit bernapas dan sinar matahari tak bisa lagi untuk menyampaikan kasih sayangnya dengan sempurna. Selanjutnya diriku akan mengikuti gravitasi karena kering merambat diri. Kau tahu, matahari tak bisa menangis lagi. Itu sebabnya aku menguning dan rapuh. Kurasa, kau telah membuat matanya berhenti memproduksi bulir-bulir kesedihan.
            Dan jangan pernah menyalahkan dirimu, kabut. Semua mahkluk hidup akan mati. Bagaimana caranya nanti, mereka akan tetap menjemput maut. Entah itu rela atau mencoba lari dari realita. Bukankah mati adalah tujuan kita setelah menjalani hidup di dunia? Lalu kenapa aku takut kalau harus mati?
***
kepada angin: Ibu, kau telah menciptakan monster pembunuh
Ibu, kenapa kau melahirkanku?
Ibu, aku tak mau hadir di dunia
—Kabut
Lihat, Ibu! Apa yang telah kuperbuat pada mereka?
Kau menyambutku dengan sukacita ketika kau berhasil membawaku melalang buana melintasi dunia. Lalu kau memberiku tugas pertama saat aku sudah cukup usia: mengantarkan pesan orang mati. Senang pada awalnya, Ibu, mengantarkan keluh kesah orang-orang yang ada di dalam kubur kepada kerabat mereka yang masih hidup lewat alam mimpi. Namun, saat anakmu yang lainnya mulai lahir dan bergerombol, itu sebuah bencana.
            Semua ini salah ayahmu, begitu yang kau bilang. Ayahku kau sebut gila bercinta—entah apa artinya itu—hingga lahir kabut-kabut yang lainnya dari rahim istri yang berbeda. Mereka tak terurus hingga menghalangi oksigen untuk dihirup oleh makhluk hidup. Sesak napas mereka, Ibu. Sakit mata mereka memandang.
            Kuputuskan untuk kabur, memisahkan diri. Sudah letih aku dimaki, Ibu. Telah capek aku dihina. Tugasku mulia, menyampaikan derita mereka yang ada di dalam makam agar yang hidup tidak berakhlak buruk seperti mereka. Tapi tugas-tugas itu telah musnah. Hatiku telah terluka. Perih menyayat kalbu. Lalu aku bertemu dengan daun yang baik hati.
            Ia mau jadi temanku, Ibu. Di saat yang lain mengusirku karena telah menyakiti mereka, ia justru merengkuhku untuk masuk ke dalam dekapannya. Seandainya matahari tahu ia telah berbuat begitu padaku, kuyakin pasti ia akan cemburu.
            Selalu dihiburnya aku agar tak sedih. Dibesarkannya hatiku yang sempat mengecil. Kemudian kudengar keluarganya berteriak, mengusirku untuk segera pergi dari rumahnya. Aku sedih, Ibu. Padahal aku tak ada bermaksud melukainya dan anggota keluarganya. Lalu ia  bilang tak apa padaku, toh ia akan mati juga, begitu penjelasannya. Tentu saja aku sedih. Siapa yang akan berteman lagi denganku, Ibu? Siapa? Dengan berat hati kutinggalkan ia. Meskipun ia menjerit kehilangan, aku tak peduli.
            Satu pesan yang bisa kutangkap darinya, Ibu. Ia ingin matahari tahu kalau ia telah pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Seandainya aku sanggup, akan kusampaikan pesannya, Ibu. Tapi aku tak bisa, yang kuantarkan adalah pesan orang mati, bukan daun yang sekarat. Maukah kau menyampaikan pesannya, Ibu? Katakan kepada matahari untuk mencari daun-daun yang lain sebagai penggantinya.
***
kepada api: berhentilah bercinta!
kau membuat kabut terluka
—Angin
            Telah kusampaikan salam daun untuk matahari dan ia sangat sedih, namun tak sanggup air matanya mengucur.
            Semua ini memang salah ayahmu, kabut. Ia bercinta sesuka kelaminnya kepada angin-angin yang lain. Hingga mereka semua mengandung bersama-sama dan melahirkan secara bersamaan pula. Tak mau mereka mengurus kabut yang lahir dari rahim mereka dan aku tak bisa mengurusnya. Ibu macam apa mereka yang tak mau mengatur anak hasil buah cintanya? Oh, mungkin saja itu bukan buah dari cinta, melainkan nafsu.
Ayahmu memang keterlaluan.
            Sejak ia selingkuh, aku telah meninggalkannya di hutan rimba sana. Kujalani hari-hariku seperti semula: menceritakan kabar dari penjuru dunia. Itulah kenapa hanya aku yang bisa menyampaikan pesan daun pada matahari yang jauh di atas sana.
            Sayang seribu sayang, telah kering airmatanya untuk terjun. Matahari itu. Seandainya bisa, musnahlah kabut-kabut nakal penyebab kekacauan di Riau ini. Dan engkau, anakku, akan ikut berevaporasi bersama mereka. Tak apa, anakku. Mati itu indah. Bukankah kau telah mendengarnya sendiri? Meski begitu, akan berat bagiku untuk merelakan. Itu susah, kabut. Suatu hari nanti, kuharap, kau merasakan tentang apa itu makna dari meninggalkan dan ditinggalkan.
***
kepada umat manusia: jangan pernah menjadi serakah
hidupmu di dunia hanya sementara
tak ada gunanya kau menjarah harta
dalam akhirat hanya amal yang akan kau bawa
ibadah yang mampu menyelamatkan nyawa
—Api
            Kau lihatkan? Semua jadi salahku. Istriku bahkan menyebutku penggila bercinta.
            Manusia itu adalah mahkluk paling sempurna yang pernah diciptakan Tuhan di dunia, bahkan Ia menyuruh malaikat untuk bersujud ketika ruh ditiupkan. Sebagai satu-satunya mahkluk yang diutus mengelola bumi dengan sebaik dan sebenar-benarnya, kenapa mereka justru merusak? Bahkan dengan sadarnya mereka tahu kalau telah menyakiti mahkuk Tuhan yang lainnya.
            Kalau sedikit, aku hadiah. Namun kalau berlebihan, aku bencana. Apalagi setelah bercinta.
            Aku setia. Itu memang sudah kepribadianku. Ketika pertama kalinya bertemu dengan angin, kami memutuskan untuk menikah, bercinta, hingga lahirlah kabut dari hubungan kami. Ilalang dan rimbunnya semak belukar menjadi saksinya.
Tugasku sebagai penerang, tak ada maksud melukai.
            Saat sedang bercumbu, aku bisa menjadi tak terkendali. Namun kalau tak dicercoki perangsang, aku tak akan menyakiti. Siapa lagi kalau bukan manusia-manusia keparat itu! Mereka telah menyiramkan bensin dan solar serta menyulutkan korek, membuatku semakin bergairah untuk bercinta. Datanglah angin-angin liar dan jalang merayu hingga nafsuku mendesak untuk melakukannya. Bergilir mereka datang, bergantian kulayani. Bensin disiram lagi, nafsuku menjilat-jilat. Angin semakin datang, bertambah puaslah aku. Hingga mereka mengandung bersama-sama dan melahirkan kabut yang banyaknya sama.
            Kenyang bercinta, lelah setelah melahirkan, angin-angin itu lemas. Tak berdaya, hingga membiarkan anak mereka tak terurus. Meraung meminta disusui tapi mereka justru mengusirnya pergi. Saat itulah istriku yang baru pulang mengajari anakku melaksanakan tugasnya, memergokiku. Aku merasa bersalah. Telah kujelaskan kalau manusia-manusia serakah yang telah membakar rimba ini yang telah membuatku tak sanggup membendung birahi. Apalagi dirinya tak ada di sisiku dikala aku ingin itu.
            Istriku murka, aku memakluminya. Ia pun pergi, aku sangat menyesal. Kuusir angin-angin yang telah bercinta denganku untuk tak pernah menampakkan diri di depanku lagi. Anak-anak mereka, juga kuhalau ke kota sana. Biar mampus mereka merasakan akibat ulah mereka sendiri.
Aku marah pada manusia.
Tubuhku membesar, melar bagai karet. Kalau aku sedang murka, akan lebih ganas dibandingkan dengan bercinta. Bagai ribuan tentakel, api-api mungilku menggeliat, menjangkau setiap hal yang mampu disentuh. Kubakar habis apa pun yang ada di hadapanku: kebun sawit, rumah penduduk. Semuanya kubabat sampai tak tersisa suatu apa pun yang dimiliki oleh mahkluk-mahkluk tamak tersebut. Dengan tangan jinggaku, menjadi abulah mereka. Panas tubuhku memberontak. Menghajar segalanya.
            Rasakan, manusia! Rasakan segala kerakusanmu, ketamakan, dan kebodohanmu mengejar dunia! Inilah keserakahanmu pada alam!
Yang Di Atas murka!
Aku murka!


Biodata Penulis:
Novri Kumbara, lahir di Tanjung Leidong, Sumatera Utara, 29 November 1993. Senang menulis dan membaca. Pernah meraih sepuluh terbaik dalam lomba Sayembara Cerpen Remaja Balai Bahasa Provinsi Riau 2011. Beberapa karyanya tergabung dalam antologi Curhatku Untuk Semesta, Don Juan Katrok, Journey to the Light dan Ground Zero. Follow twitternya di @novrikumbara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar