Ini adalah pengalaman pertama saya
mengirimkan sebuah cerpen ke koran Riau Pos. Kalau saya tidak salah
ingat, awal saya mengirimkannya adalah bulan Maret. Bulan demi bulan
saya menanti apakah cerpen saya--yang saya anggap nyaris sastra
ini--layak muat. Hingga saya putus asa dan meyakini kalau tulisan saya
masih jelek dibandingkan dengan mereka yang telah melalang buana membawa
cerpen karya mereka ke setiap koran baik daerah maupun nasional. Sampai
suatu ketika secara tak sengaja, saya membaca salah satu postingan Grup
Sastra Minggu di facebook, dan cerpen saya dimuat pada koran Riau Pos,
edisi 15 Juni 2014. Dan sebagai bentuk keinginan saya, di mana saya akan
puas jika karya saya dibaca oleh khalayak ramai, saya pun membuat blog
ini dan--nantinya--akan memuat karya-karya saya dalam bidang
kepenulisan.
Berikut cerpen saya:
Keluh Kesah
kepada daun: maafkan aku untuk sebulan
terakhir,
aku tak bisa menemuimu,
mengurungmu dalam jeruji kerinduan,
memberimu harapan pada penantian
yang tak tahu akan berhenti kapan.
—Matahari
Sungguh, aku sangat merindukanmu.
Dari atas langit, sudah buta mataku menatap parasmu dan telah tuli pula telingaku
mendengar suara darimu.
Ketika aku selesai menyinari bumi
pada belahan yang lain, tibalah aku memancarkan cahayaku ke tempatmu. Kau
bilang ketika kita pertama kali bertemu bahwa akar ibumu tertancap pada tanah
yang disebut dengan Riau. Sebetulnya, aku tak suka dengan Riau. Kau tahu
kenapa? Atmosfer di tempatmu sangat tipis, terlalu banyak polusi yang merusak
lapisan ozon, membuatmu gerah hampir mati. Kau juga pernah bilang kalau manusia
yang tinggal di Riau selalu mengeluh betapa panasnya tempat tinggal mereka,
namun di sisi lain, mereka tidak mau menanggulanginya dengan menanam pohon
(para sanak saudaramu), melainkan dengan pendingin ruangan yang justru membuat
lapisan ozon semakin sakit.
Aku
berusaha untuk mengurangi kadar panas yang teradiasi kepadamu, namun aku tak
berdaya untuk melakukannya. Tak bisa daun. Aku harus adil. Seperti ini aku
menyinari di bagian belahan bumi yang lain, begitu pulalah yang kulakukan
untukmu. Maafkan aku telah menyakitimu. Sungguh, aku tak bermaksud begitu.
Kisah yang selalu kau ceritakan padaku
hampir di setiap harinya, terkadang terdengar sendu. Kau berkata—entah kapan
itu terjadi dan selalu terjadi—tubuh ayahmu akan ditancap oleh benda tajam yang
menyakitkan demi menempel gambar-gambar pemimpin manusia. Kau sering menyebut
manusia yang ada pada gambar itu adalah penghuni neraka. Mereka berwajah dua,
itu yang selalu kau katakan, berkata manis, mengumbar janji, namun semua itu
hanya topeng untuk menutupi kebusukan mereka. Bilang saja padaku siapa namanya,
daun, akan kubakar nanti di panasnya neraka.
Sempat
aku meneteskan air mata tatkala kau menirukan bagaimana ayahmu memekik ketika
paku-paku itu menancap, semakin dalam, memancang hingga melesak ke floem dan xilem.
Kau beserta ibu dan saudara-saudarimu menangis mendengar lolongan pilu yang
menyayat. Kemudian aku menangis isak. Itulah airmataku yang kau sebut dengan
hujan.
Seandainya
kau mendengar perkataanku, daun. Kumohon, berbicaralah kembali padaku.
***
kepada kabut: sampaikan salamku
untuknya,
napasku sudah sesak dan aku
sebentar lagi akan mati
ketika keadaan kembali seperti
semula
kutak mau ia linglung saat
menyadari aku sudah tak lagi ada
—Daun
Apa pun kamu, aku mohon, percepat
aku mati.
Kudengar, kamu bisa menyampaikan
salam orang mati. Benarkah? Lalu bagaimana denganku? Apakah kamu bisa
mengantarkan pesan dari daun yang mulai sekarat? Sedang berada di ambang maut?
Bisakah?
Sejak kamu datang, aku tak bisa
menyalahkan dirimu. Aku tahu kamu menginginkan untuk tak pernah ada di dunia.
Kehadiran dirimu selalu membuat susah. Kamu sering dicaci maki bagai anjing
kurap. Selalu menangis setiap aku bertemu dengan dirimu. Aku coba menghibur
kamu agar dirimu tak sedih. Lalu kamu ingin pergi begitu saja dari diriku.
Padahal, aku tahu kalau kamu lagi butuh teman. Dan aku dengar, hanya diriku
yang mau berteman dengan dirimu.
Daun yang ada di sana berteriak pada
diriku kalau kamu pergi karena telah melukai keluargaku atau para handai
taulanku. Sekali lagi, aku tak bisa menyalahkan dirimu. Ayahku sudah tua,
batangnya penuh lubang menganga. Ibuku telah rentan, akarnya sudah tak sanggup
menahan saudara-saudariku yang semakin hari bertambah lebat saja.
Lalu
daun yang di seberang sana melolong kalau dirimu telah membunuhku, perlahan,
tanpa kusadari. Sebenarnya aku sangat sadar kalau kehadiranmu akan membuat diriku
gugur, terjatuh, terhempas hingga menyatu dengan tanah. Dimulai dari keluargaku
yang sulit bernapas dan sinar matahari tak bisa lagi untuk menyampaikan kasih
sayangnya dengan sempurna. Selanjutnya diriku akan mengikuti gravitasi karena
kering merambat diri. Kau tahu, matahari tak bisa menangis lagi. Itu sebabnya
aku menguning dan rapuh. Kurasa, kau telah membuat matanya berhenti memproduksi
bulir-bulir kesedihan.
Dan jangan pernah menyalahkan dirimu,
kabut. Semua mahkluk hidup akan mati. Bagaimana caranya nanti, mereka akan
tetap menjemput maut. Entah itu rela atau mencoba lari dari realita. Bukankah
mati adalah tujuan kita setelah menjalani hidup di dunia? Lalu kenapa aku takut
kalau harus mati?
***
kepada angin: Ibu, kau telah
menciptakan monster pembunuh
Ibu, kenapa kau melahirkanku?
Ibu, aku tak mau hadir di dunia
—Kabut
Lihat,
Ibu! Apa yang telah kuperbuat pada mereka?
Kau
menyambutku dengan sukacita ketika kau berhasil membawaku melalang buana
melintasi dunia. Lalu kau memberiku tugas pertama saat aku sudah cukup usia:
mengantarkan pesan orang mati. Senang pada awalnya, Ibu, mengantarkan keluh
kesah orang-orang yang ada di dalam kubur kepada kerabat mereka yang masih
hidup lewat alam mimpi. Namun, saat anakmu yang lainnya mulai lahir dan bergerombol,
itu sebuah bencana.
Semua ini salah ayahmu, begitu yang
kau bilang. Ayahku kau sebut gila bercinta—entah apa artinya itu—hingga lahir
kabut-kabut yang lainnya dari rahim istri yang berbeda. Mereka tak terurus
hingga menghalangi oksigen untuk dihirup oleh makhluk hidup. Sesak napas
mereka, Ibu. Sakit mata mereka memandang.
Kuputuskan untuk kabur, memisahkan
diri. Sudah letih aku dimaki, Ibu. Telah capek aku dihina. Tugasku mulia,
menyampaikan derita mereka yang ada di dalam makam agar yang hidup tidak
berakhlak buruk seperti mereka. Tapi tugas-tugas itu telah musnah. Hatiku telah
terluka. Perih menyayat kalbu. Lalu aku bertemu dengan daun yang baik hati.
Ia mau jadi temanku, Ibu. Di saat
yang lain mengusirku karena telah menyakiti mereka, ia justru merengkuhku untuk
masuk ke dalam dekapannya. Seandainya matahari tahu ia telah berbuat begitu
padaku, kuyakin pasti ia akan cemburu.
Selalu dihiburnya aku agar tak
sedih. Dibesarkannya hatiku yang sempat mengecil. Kemudian kudengar keluarganya
berteriak, mengusirku untuk segera pergi dari rumahnya. Aku sedih, Ibu. Padahal
aku tak ada bermaksud melukainya dan anggota keluarganya. Lalu ia bilang tak apa padaku, toh ia akan mati juga, begitu penjelasannya. Tentu saja aku sedih.
Siapa yang akan berteman lagi denganku, Ibu? Siapa? Dengan berat hati
kutinggalkan ia. Meskipun ia menjerit kehilangan, aku tak peduli.
Satu pesan yang bisa kutangkap
darinya, Ibu. Ia ingin matahari tahu kalau ia telah pergi meninggalkan dunia
untuk selama-lamanya. Seandainya aku sanggup, akan kusampaikan pesannya, Ibu.
Tapi aku tak bisa, yang kuantarkan adalah pesan orang mati, bukan daun yang
sekarat. Maukah kau menyampaikan pesannya, Ibu? Katakan kepada matahari untuk
mencari daun-daun yang lain sebagai penggantinya.
***
kepada api: berhentilah bercinta!
kau membuat kabut terluka
—Angin
Telah kusampaikan salam daun untuk
matahari dan ia sangat sedih, namun tak sanggup air matanya mengucur.
Semua ini memang salah ayahmu, kabut.
Ia bercinta sesuka kelaminnya kepada angin-angin yang lain. Hingga mereka semua
mengandung bersama-sama dan melahirkan secara bersamaan pula. Tak mau mereka
mengurus kabut yang lahir dari rahim mereka dan aku tak bisa mengurusnya. Ibu
macam apa mereka yang tak mau mengatur anak hasil buah cintanya? Oh, mungkin
saja itu bukan buah dari cinta, melainkan nafsu.
Ayahmu
memang keterlaluan.
Sejak ia selingkuh, aku telah
meninggalkannya di hutan rimba sana. Kujalani hari-hariku seperti semula: menceritakan
kabar dari penjuru dunia. Itulah kenapa hanya aku yang bisa menyampaikan pesan
daun pada matahari yang jauh di atas sana.
Sayang seribu sayang, telah kering airmatanya untuk
terjun. Matahari itu. Seandainya bisa, musnahlah kabut-kabut nakal penyebab
kekacauan di Riau ini. Dan engkau, anakku, akan ikut berevaporasi bersama
mereka. Tak apa, anakku. Mati itu indah. Bukankah kau telah mendengarnya
sendiri? Meski begitu, akan berat bagiku untuk merelakan. Itu susah, kabut.
Suatu hari nanti, kuharap, kau merasakan tentang apa itu makna dari meninggalkan
dan ditinggalkan.
***
kepada umat manusia: jangan pernah
menjadi serakah
hidupmu di dunia hanya sementara
tak ada gunanya kau menjarah harta
dalam akhirat hanya amal yang akan
kau bawa
ibadah yang mampu menyelamatkan
nyawa
—Api
Kau
lihatkan? Semua jadi salahku. Istriku bahkan menyebutku penggila bercinta.
Manusia itu adalah mahkluk paling
sempurna yang pernah diciptakan Tuhan di dunia, bahkan Ia menyuruh malaikat
untuk bersujud ketika ruh ditiupkan. Sebagai satu-satunya mahkluk yang diutus
mengelola bumi dengan sebaik dan sebenar-benarnya, kenapa mereka justru
merusak? Bahkan dengan sadarnya mereka tahu kalau telah menyakiti mahkuk Tuhan
yang lainnya.
Kalau sedikit, aku hadiah. Namun
kalau berlebihan, aku bencana. Apalagi setelah bercinta.
Aku setia. Itu memang sudah
kepribadianku. Ketika pertama kalinya bertemu dengan angin, kami memutuskan
untuk menikah, bercinta, hingga lahirlah kabut dari hubungan kami. Ilalang dan
rimbunnya semak belukar menjadi saksinya.
Tugasku
sebagai penerang, tak ada maksud melukai.
Saat sedang bercumbu, aku bisa
menjadi tak terkendali. Namun kalau tak dicercoki perangsang, aku tak akan
menyakiti. Siapa lagi kalau bukan manusia-manusia keparat itu! Mereka telah
menyiramkan bensin dan solar serta menyulutkan korek, membuatku semakin
bergairah untuk bercinta. Datanglah angin-angin liar dan jalang merayu hingga
nafsuku mendesak untuk melakukannya. Bergilir mereka datang, bergantian
kulayani. Bensin disiram lagi, nafsuku menjilat-jilat. Angin semakin datang,
bertambah puaslah aku. Hingga mereka mengandung bersama-sama dan melahirkan
kabut yang banyaknya sama.
Kenyang bercinta, lelah setelah
melahirkan, angin-angin itu lemas. Tak berdaya, hingga membiarkan anak mereka
tak terurus. Meraung meminta disusui tapi mereka justru mengusirnya pergi. Saat
itulah istriku yang baru pulang mengajari anakku melaksanakan tugasnya,
memergokiku. Aku merasa bersalah. Telah kujelaskan kalau manusia-manusia
serakah yang telah membakar rimba ini yang telah membuatku tak sanggup
membendung birahi. Apalagi dirinya tak ada di sisiku dikala aku ingin itu.
Istriku murka, aku memakluminya. Ia
pun pergi, aku sangat menyesal. Kuusir angin-angin yang telah bercinta denganku
untuk tak pernah menampakkan diri di depanku lagi. Anak-anak mereka, juga
kuhalau ke kota sana. Biar mampus mereka merasakan akibat ulah mereka sendiri.
Aku
marah pada manusia.
Tubuhku
membesar, melar bagai karet. Kalau aku sedang murka, akan lebih ganas
dibandingkan dengan bercinta. Bagai ribuan tentakel, api-api mungilku
menggeliat, menjangkau setiap hal yang mampu disentuh. Kubakar habis apa pun
yang ada di hadapanku: kebun sawit, rumah penduduk. Semuanya kubabat sampai tak
tersisa suatu apa pun yang dimiliki oleh mahkluk-mahkluk tamak tersebut. Dengan
tangan jinggaku, menjadi abulah mereka. Panas tubuhku memberontak. Menghajar
segalanya.
Rasakan, manusia! Rasakan segala
kerakusanmu, ketamakan, dan kebodohanmu mengejar dunia! Inilah keserakahanmu
pada alam!
Yang
Di Atas murka!
Aku
murka!
Biodata Penulis:
Novri
Kumbara, lahir di Tanjung Leidong, Sumatera Utara, 29 November 1993. Senang
menulis dan membaca. Pernah meraih sepuluh terbaik dalam lomba Sayembara Cerpen
Remaja Balai Bahasa Provinsi Riau 2011. Beberapa karyanya tergabung dalam
antologi Curhatku Untuk Semesta, Don Juan Katrok, Journey to the Light dan Ground Zero.
Follow twitternya di @novrikumbara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar