Selasa, 19 Agustus 2014

Suicide48

Ini adalah cerpen yang sempat saya ikutkan pada lomba #TeenHorror (cerpen yang mengambil tema horor, namun memiliki ciri khas bahasa dan gaya penulisan untuk kalangan remaja). Lomba ini dilangsungkan tahun 2013 (saya lupa bulannya) atas kerjasama Penerbit Diva Press Jogjakarta dengan Grup Kepenulisan UNSA. Cerpen saya yang bertajuk Suicide48 berhasil lolos di tahap penyisihan babak pertama. Awalnya itu membuat saya senang, namun setelah Tahap Akhir, cerpen saya gagal masuk untuk dijadikan buku antologi. Meskipun begitu, saya masih punya tekad untuk terus berkarya. Karena bagi saya, kegagalan itu hanya sebagai bibit salah pilih--yang suatu saat nanti--saya akan menemukan bibit yang sesuai, yang unggulan, hingga tumbuh subur, beranak-pinak dan bisa dinikmati orang banyak.

Berikut cerpen saya:

Suicide48
            Empat puluh delapan gadis remaja dari grup idola JKT48 generasi pertama dan generasi kedua sedang mempersiapkan diri untuk tampil di lagu penutup konser mereka. Sekarang, mereka sedang berkumpul di belakang panggung. Konser yang mereka jalani adalah konser mereka yang pertama di Bascamp mereka sendiri dan konser ini diadakan khusus untuk para fans dari grup mereka.
            Para Member—sebutan untuk personil JKT48—memakai baju yang senada: rok kembang sepaha warna kuning, baju atasan yang mirip dengan seragam sekolah negara Jepang, dan sepatu bot semata kaki berwarna hitam. Yang membedakan setiap Member adalah bentuk rambut serta hiasan kepala yang mereka kenakan berbeda-beda. Ada yang memakai bando bunga putih, ada yang rambutnya digayakan seperti Sailormoon, dan lain sebagainya.
            Sebelum naik ke atas panggung, para Member membentuk gerakan melingkar. Ada yang aneh di sana. Tatapan mereka tajam dan penuh arti satu sama lain, seperti sebuah komunikasi yang tak perlu kata-kata untuk mengetahuinya. Mereka saling mengangguk dan kemudian menelan sebuah pil putih seukuran biji jagung. Pil itu adalah pemberian dari Melody, center dari grup idola itu.
            Mereka naik ke atas panggung dengan mengumbar senyum dan wajah ceria—360 derajat berbeda dengan apa yang sudah terjadi di belakang panggung. Mereka melambai gembira menyambut teriakan meriah dari para fans yang dengan setia menunggu lagu penutup dari konser idola mereka. Para fans membawa stik lampu dan menggerak-gerakkannya di angkasa dengan gerakan maju mundur sambil berteriak histeris, “Je-ke-ti. For-ti-eg! Je-ke-ti. For-ti-eg!”
            “Selamat malam,” kata Melody yang langsung disambut riuh rendah suara para fans. “Terima kasih buat kalian semua yang sudah meluangkan waktu untuk menonton konser pertama kami ini. Semoga ke depannya, kami bisa mengadakan konser serupa untuk kalian semua. Kami juga mengucapkan terima kasih, karena kalian sudah mendukung kami hingga generasi kedua JKT48. Je-ke-ti!”
            “For-ti-eg!” sambung fans mereka.
            “Sebagai lagu penutup, kami akan membawakan lagu Aitakata.”
            Para Member pun mengambil posisi koreo untuk lagu Aitakata. Ketika lagu diputar, ketika para fans berteriak untuk menyanyikan lagu itu, ketika itu pulalah 48 Member terjatuh di lantai dengan mata melotot ke atas, tubuh kejang-kejang, dan mulut yang dipenuhi busa putih kemerah-merahan. Secara serentak, darah kental merah kehitaman menyembur dari mulut 48 Member.
            Keadaan panik. Para fans menjerit. Lagu masih berputar. Kru panggung berhamburan naik ke atas untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Lagu pun dihentikan dan para fans sekarang terdiam, menahan rasa ngeri melihat kejadian di depan mata mereka. Idola mereka tergeletak di lantai panggung dengan kondisi yang mirip keracunan.
Sebagai tindak lanjut atas kejadian yang tidak mereka ketahui, salah satu kru memanggil Ambulans.
Hampir satu jam berlalu. Empat puluh tujuh Member sudah tewas karena terlambat untuk dibawa ke rumah sakit dan sebagian tewas setelah mendapat pertolongan ketika tiba di rumah sakit. Tetapi, satu orang Member berhasil selamat dan sekarang dia sedang berada di ruang UGD.
Member itu bernama, Nabila. Dokter mengatakan, kemungkinan Nabila yang terakhir menelan racun dan orang pertama yang mendapat pertolongan dari rumah sakit. Jadi, dokter masih sempat untuk menetralisir racun dan mengeluarkannya dari tubuh Nabila. Kemungkinan besar, dua jam lagi Nabila akan sadar.
Maryono, seorang polisi, sedang menunggu di rumah sakit menanti Nabila hingga sadar. Maryono sudah melakukan penyisiran terhadap lokasi kejadian. Dia tidak menemukan apa-apa selain darah yang sudah menggumpal di lantai panggung. Dan para kru mengatakan, para Member tidak memakan apa pun selain jamuan makan malam yang mereka makan sebelum konser. Tetapi para kru juga menambahkan, mereka juga memakan makanan yang sama dengan para Member dan mereka masih baik-baik saja. Jadi, racun tersebut bukan berasal dari makanan yang mereka konsumsi. Meskipun begitu, Maryono masih belum tahu darimana asal racun itu. Apakah dari salah satu fans? Atau mungkin haters?
Ketika Maryono sibuk memikirkan motif tewasnya para Member, suara parau seorang wanita menghentikan pikirannya. “Pak Maryono, Nabila sudah sadar. Dia sudah kami pindahkan di ruangan rawat inap. Sekarang sudah bisa diajak komunikasi.”
“Terima kasih, Dok.”
Maryono pun mengekor di belakang dokter wanita itu. Setelah melewati lorong demi lorong, mereka tiba di ruangan Nabila. Ruangan itu sebesar kamar tidur yang luas. Nabila tergeletak lemah dengan infus bergelantungan di sisinya. Hidungnya memakai selang alat bantu napas. Suara bip lemah dari alat pendeteksi detak jantung memenuhi ruangan yang beraroma antiseptik itu.
Di ruangan itu, hanya ada kedua orang tua Nabila dan koreografer JKT48 yang sedang menungguinya. Ibu Nabila dengan sendu mengusap kepala anaknya. Matanya bengkak karena terus menangisi anaknya berjam-jam. Ayah Nabila hanya menatap lesu kepada dokter dan Maryono. Si koreografer, hanya diam membisu, menatap Nabila yang kondisinya masih lemah.
“Saya turut berduka cita atas kejadian yang dialami Nabila,” kata Maryono membuka percakapan. Mereka semua yang menunggui Nabila, menoleh sedikit dan memberi senyum sedih kepada Maryono. “Tetapi, mohon maaf sebelumnya. Saya ingin memberikan beberapa pertanyaan pada Nabila. Ini demi kelangsungan investigasi yang sedang dilakukan oleh polisi.”
“Saya juga sudah memeriksa kondisi Nabila. Perlahan keadaannya terus membaik. Menjawab beberapa pertanyaan tidak akan membuat kondisinya melemah,” kata dokter itu lembut ketika melihat raut pertidak setujuan dari wajah ibu Nabila.
Akhirnya, dengan enggan, ibu Nabila mengecup kening anaknya agak lama dan dengan langkah gontai meninggalkan ruangan. Ayah Nabila merangkul istrinya agar tidak terjatuh akibat langkahnya yang tidak seimbang. Si koreografer mengikuti mereka dari belakang. Terakhir, dokter itu pun keluar dan menutup pintu untuk memberikan privasi kepada Maryono.
Maryono duduk di kursi bekas ibu Nabila karena posisi kursinya yang dekat dengan ranjang Nabila. Mata Nabila mengikuti gerak Maryono menuju kursi di sebelah kanannya. Maryono tersenyum kepada Nabila. Nabila hanya membalasnya dengan senyum lemah.
“Hai, Nabila,” sapa Mayono. “Saya Maryono dari kepolisian. Saya harap, kamu bisa membantu penyelidikan yang sedang kami lakukan.”
Nabila hanya mengangguk lemah tanda mengerti apa yang sudah dikatakan Maryono kepadanya.
“Apa kamu tahu siapa yang—yah, yang memberi sesuatu kepada kamu sebelum peristiwa keracunan ini?”
Nabila mengangguk. “Me-lo-dy,” katanya lemah.
“Siapa Melody itu?”
“Cen-ter ka-mi, Pak.”
Maryono mengeluarkan notes kecil dari saku jaketnya dan mencatat nama Melody. “Apa yang diberikan Melody pada kalian semua?”
“Pil pu-tih.”
Maryono mencatat lagi dan kemudian mengasumsikan pil putih itu sebagai barang bukti atas meninggalnya 47 gadis remaja itu. “Lalu, apa yang dilakukan Melody setelah dia memberikan pil itu? Apakah dia kabur?”
Nabila menggeleng. “Ka-mi me-mi-num-nya ber-sa-ma sa-ma.”
“Bersama-sama?” Apa maksudnya itu? “Apa Melody juga termasuk ke dalam korban tewas?”
Nabila mengangguk.
Bunuh diri, catat Maryono di notesnya. Bunuh diri masal. Tetapi apa alasannya? “Apa kamu tahu kenapa kalian semua—yah, katakanlah bunuh diri bersama-sama?”
“Vi-de-o,” jawab Nabila otomatis.
“Video apa?”
“B-B. Kak Gi-cha. B-B sa-ya sa-ma kak Gi-cha. Vi-de-o i-tu di-sa-na.”
“Maksudmu, sama perempuan berambut pirang tadi?”
Nabila mengangguk.
Maryono segera keluar dari ruangan itu. Dia bertanya-tanya dalam hati, video apa yang bisa membuat 48 gadis remaja untuk bunuh diri bersama-sama? Apakah ini seperti sebuah ritual dari sekte terselubung? Sebuah persaudaraan bunuh diri yang melancarkan aksinya lewat video yang dimaksud Nabila?
Di ruang tunggu, Gicha duduk termenung dengan satu tangan menyangga dagu. Dia ditinggal sendirian di sana karena kedua orang tua Nabila pergi mencari makanan. Suara Maryono yang meminta Blackberry Nabila, menyadarkannya dari lamunannya. Gicha pun segera mengambil Blackberry Nabila dari tas tangannya dan menyerahkannya pada Maryono tanpa bertanya apa-apa.
Ketika Maryono kembali ke ruangan, Nabila sudah duduk, bersandar pada bantal di punggungnya. Benar kata dokter, perlahan kondisi Nabila membaik. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi. Maryono tersenyum pada Nabila dan kembali duduk di tempat sebelumnya. Kini, Maryono menyerahkan Blackberry Nabila dan memintanya untuk menunjukkan video yang dimaksud. Nabila segera mengutak-atik Balckberry-nya dan menyerahkannya kepada Maryono.
Tampilan video pun muncul. Maryono mengkerutkan kening ketika menyaksikan video yang berdurasi tujuh menit itu. Di dalam video itu, kira-kira ada sekitar 48 gadis remaja seusia Member JKT48, duduk dalam posisi pemotretan siswa, sedang memegang pisau cutter. Mereka mengenakan kaos putih dengan tulisan SUICIDE48 berwarna merah. Mereka hanya diam, menggerakkan kepala ke kanan-ke kiri dengan tatapan kosong, dan bibir yang menyeringai. Mereka terus melakukan gerakan itu, hingga di menit kelima, mereka mengiris pergelangan tangan mereka secara serentak hingga darah mengucur dari urat nadi mereka. Kemudian mereka jatuh ke lantai. Menjelang akhir durasi, video berubah menjadi latar hitam dan muncul tulisan SUICIDE48.
“Video apa ini? Mana suaranya?” tanya Maryono karena video itu bisu.
“Harus pa-kai hands-free,” kata Nabila agak kuat. “Ada sama kak Gi-cha.”
Maryono pun kembali menemui Gicha dan meminta handsfree padanya. Dengan segera, Maryono memasang handsfree itu di telinganya dan memutar ulang video itu. Benar, terdengar suara wanita bernyanyi dalam bahasa jepang. Suara itu terdengar hampa.
Hai, teman-temanku
Ayo mati bersama-sama
Hai, teman-temanku
Ayo bunuh diri bersama-sama
Hai, teman-temanku
Lakukanlah dan kau akan bahagia
Menjelang video berakhir, seorang suster datang untuk mengecek kondisi Nabila. Maryono mengijinkannya. Ketika suster itu masuk, dia menjerit. Maryono segera menyusul ke dalam ruangan Nabila diikuti Gicha di belakangnya. Apa yang dilihat Maryono sungguh sulit untuk dipercayainya. Nabila sudah tewas dengan mengenaskan. Matanya melotot, lidahnya menjulur, selang infus yang digunakan untuk menginfusnya, sudah terlilit sebanyak tiga lilitan di lehernya. Padahal sebelumnya Nabila baik-baik saja, malah kondisinya semakin membaik.
Suster yang syok tersungkur lemas di lantai. Maryono segera bertindak cepat untuk membuka lilitan selang infus di lehernya sebelum kedua orang tua Nabila datang. Tak lupa Maryono menutup kedua mata Nabila serta memasukkan kembali lidahnya yang menjulur keluar. Lalu, Maryono menutup mayat Nabila dengan selimut rumah sakit.
***
Nabila menatap Maryono yang keluar dari ruangannya untuk meminta handsfree pada Gicha. Dia tersenyum ketika sendirian di ruangan itu. Karena 47 Member sedang mengitarinya, mengulurkan tangan untuk menjemputnya. Nabila mengangguk. Dia mencopot selang infusnya dan melilitkannya di lehernya sebanyak tiga putaran. Kemudian, dia menarik lehernya dengan sangat kencang, menyisakan goresan merah di lehernya. Sebelum menjerat lehernya sendiri, Nabila sempat berkata, “Aitakata.”
***
Maryono sibuk mencari informasi tentang Suicide48 setelah menghadiri pemakaman Nabila. Seluruh media, baik dari Indonesia mau pun Jepang, baik elektronik mau pun cetak, sibuk memberitakan tewasnya 48 gadis remaja itu dan membuat versi sendiri perihal kematian para Member. Media menulis mereka bunuh diri karena stres dan tertekan dalam binaan manajemen. Rasanya Maryono ingin memercayai apa yang digosipkan media itu, mengingat penyebab bunuh diri yang dilakukan 48 Member, yang secara serentak itu, hanya karena sebuah video.
Setelah pencarian yang nihil, Maryono pun meninggalkan pencariannya itu dan pergi ke sebuah food court di salah satu mall untuk makan siang. Maryono berhenti memakan burger-nya ketika dia melihat seorang gadis memakai kaos putih bertuliskan SUICIDE48 persis seperti yang dilihatnya di dalam video itu. Gadis itu tinggi, berkulit putih, dan rambutnya hitam lurus sepunggung. Maryono tidak bisa melihat wajah gadis itu karena dia membelakangi Maryono. Dengan tergesa-gesa, Maryono mengejar gadis itu dan mencoba menghentikannya dengan berteriak, “Hei! Kau yang berkaos putih suicide empat delapan. Berhenti sekarang!” Gadis itu tak menggubris, dia terus saja berlari.
Semakin Maryono melebarkan langkahnya untuk mengejar gadis itu, semakin sulit pula gadis itu untuk disusul. Hingga mereka sampai di atap mall, gadis itu berhenti. Dia menunjuk ke arah belakang Maryono. Ketika Maryono menoleh, sekitar 47 gadis seumuran gadis yang dikejarnya tadi, berjajar rapi. Secara bersamaan, lagu wanita jepang yang ada dalam video bunuh diri Suicide48 yang ditontonnya tadi malam, memenuhi telinganya.
…Hai, teman-temanku
Ayo bunuh diri bersama-sama…
Jantung Maryono berdebar kencang, aliran darahnya kaku, dan matanya menatap hampa. Dia tersenyum, menganggukan kepalanya ke kanan-ke kiri dan berjalan menuju tepi gedung. Sambil menyeringai dia berkata, “Aitakata.” Dan dia pun menjatuhkan dirinya dari atap gedung.
Sembilan puluh enam gadis remaja Suicide48 dan JKT48, menatap ke arah tewasnya Maryono, menyeringai puas. Lalu, mereka berkata bersama-sama…
“Aitakata. Kami semua selalu ada di belakangmu!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar